Sesuluh Idup

16 April 2009

Dengan Nawa Wida Bhakti – SRAWANAM Prabu Parikesit mencapai moksa.

Filed under: Uncategorized — sesuluh @ 19:03
Tags: , , ,

Jnanam, Karma, dan Bhakti, dalam mewujudkan ajaran Hindu adalah merupakan satu kesatuan yang susah untuk dipisahkan karena merupakan satuan intergral satu dengan yang lainnya. Svami Satya Narayana mengatakan : Ketiga jalan tersebut bak Gula batu, bentuk, berat, dan penampilan gula tersebut sangatlah berbeda, namun mereka mempunyai kesatuan yang utuh dan sulit untuk dibeda bedakan. Kalau Jnanam itu tidak diwujudkan dalam bentuk Bhakti, maka hanya tinggal didalam hati saja, Karma tanpa dilandasi dengan Jnanam maka karma akan ngawur tanpa arah, Jnanam dan karma tanpa bakti, akan bisa menimbulkan arogansi dan gersang, Bhakti tanpa Jnanam dan karma juga akan nyaplir. Karena itu Bhakti kepada tuhan merupakan ujung dari Jnanam dan karma.
Berbakti kepada tuhan tidak hanya dalam wujud sembahyang baik itu di pura maupun di merajan.
Dalam Bhagawata purana VII.5.23. menyebutkan ada sembilan bentuk Bhakti kepada tuhan yang disebutkan dengan :”NAWA WIDA BHAKTI” salah satu bentuk bhakti itu adalah Srawanam ( mendengarkan nasehat nasehat suci, Ajaran Dharma dengan penuh konsentrasi ) Kesimpulannya berbakti kepada tuhan dengan cara mendengarkan tentang ketuhanan, Ceritra ceritra tentang Tuhan, melalui ajaran Dharma ).

Prabu Parikesit adalah merupakan raja yang terakhir dari Astinapura. Atau cucu Pandawa yang mencapai Moksa beliau melakukan Bhakti kepada Tuhan dengan cara SRawanam.
Dalam ceritra mahabrata Prabu Parikesit diceritrakan berburu ke hutan, akhirnya memasuki pertapaan Rsi Samiti,  Didalam Kerajaan Astinapura, ada suatu etika, bila sang raja datang berkunjung layaknya disambut dengan istimewa, setiap orang menyambutnya, menghormati serta appreciate atas kunjungan sang raja.
Disis lain disebuah pertapaan  pada saat itu, Rsi Samiti sedang mejalankan tribrata, Brata makan ( Upawasa ) Brata Tidur ( Jagra ) serta brata berbicara ( monobrata ) karena dalam kondisi Tribrata inilah beliau akhirnya tidak menyambut kedatangan sang Raja dengan sebagaimana mestinya.
Prabu Parikesit sangat tersinggung atas keadaan ini, sehingga kemarahannya ditumpahkan kepada seekor ular yang sedang lewat disana, ular itupun dipukulnya sampai mati, yang akhirnya bangkai ular itu dikalungkan oleh Prabu parikesit dilehar Sang Rsi Samiti yang sedang melakukan Tribrata. Kemudian sang Rsi ditinggalkan begitu saja dalam tri brata dengan leher dikalungi bangkai ular.
Sang Rsi Samiti memiliki seorang putra yang bernama Srenggi- (masih tergolong kanak kanak karena usianya baru 8 tahun ) Namun Srenggi mempunyai suatu bakat yang luarbiasa dalam ketekunannya melaksanakan Gayatri mantram, dalam usianya yang ke lima Srenggi sudah mampu melaksanakan japa mala Gyatri mantram sampai ribuan kali lebih lebih lagi, diluar Desanya sendiri.
Ketika Srenggi kembali dari taman pesraman mengambil bunga yang tadinya dipersiapkan untuk sembahyang, alangkah kagetnya mereka ketika melihat dan menyaksikan kondisi Ayahandanya sang Rsi dengan posisi meditasi dengan bangkai ular yang melilit dilehernya. Srenggi berusaha untuk mencari tau siapa palaku dari perbuatan amoral seperti itu,  maka dapatlah srenggi jawaban pelakunya adalah seorang Raja ( Prabu Parikesit sebagai pelaku tunggal ) Srenggipun segera mengejar Prabu parikesit dan sekaligus melontarkan kutukan atas perlakuannya terhadap Ayahndanya sang Rsi. ”Dalam kurun waktu 7 hari Prabu Parikesit akan mati dengan cara yang menyedihkan digigit ular”.
Rsi Samiti mendengarkan kesemuanya itu,  dan beliau mengetahui kemampuan putranya sang Srenggi, karena kesidhiannya, mengingat sejak kecil Srenggi sangat rajin dan tulus melakukan Japa Mala Kutukan tinggal kutukan tak boleh ditarik dengan apapun, akhirnya dalam kurun waktu yang ditentukan 7 Hari pasti akan terjadi kejadian yang sangat mengenaskan Prabu Parikesit sudah pasti akan menderita atas kutuknnya itu.
Tinggal satu satunya yang dilakukan Sang Rsi sekarang adalah masuk ke Istana kerajaan dan menyampaikan masalah ini, sehingga dibuatkanlah sebuh podium dan dijaga ketat sehingga tidak ada lagi jalan ular bisa menghapiri Prabu parikesit.
Dalam tujuh hari itulah dipergunakan bertobat oleh Sang Prabu Parikesit, selama 7 hari untuk Srawanam, yaitu mendengarkan dengan cara seksama Ikang Tinutur Pineh Ayu dari sang Rsi Samiti.
Persis hari yang ke VII Jiwa sang Prabu Parikesit meninggalkan Raga ( alias Moksa ) dan akhirnya datanglah sang pelayan menyuguhkan Hidangan makan buat sang Prabu Parikesit, meskipun Makanan itu di Softir secara sempurna oleh Koki Istana, namun Ular tersebut bersembunyi dibalik kuping manggis, ketika sang Prabu mau makan manggis keluarlah ular tersebut dengan serta merta mematuk sang Prabu yang sebenanrnya sudah dalam keadaan Sunia – Berakhirlah Prabu Parikesit yang merupakan akhir dari bagian kejayaan Wangsa Bratha – di Astinapura.

Jero Mangku Sudiada – HDNET

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.